Translate

Kamis, 25 September 2014

Antara Bukit Menangis dan Tugu Equator yang Kasatmata

"Jika kamu baru saja mengalami peristiwa tanpa logika, anggap saja kamu sedang bermimpi,"

Jadi saya kembali jalan-jalan aji mumpung. Mumpung suami saya tugas ke daerah, nah di situ saya ikutan nebeng jalan-jalan. Acara traveling kali ini agak-agak berbeda rasanya. Beda karena nyerempet-nyerempet yang diluar logika. Sampai sekarang pun masih bikin saya kepikiran, agak-agak merinding dikit. 

Kali ini saya ikutan ke Kota Bontang, 230-an km dari Balikpapan. Ada dua rute yang kami lalui menggunakan mobil taft keluaran 1996. Rute Balikpapan-Samarinda dilanjut Samarinda-Bontang. Perlu waktu sekitar 3 jam lebih sedikit menuju Samarinda dari Balikpapan. Secara mobil yang kami kendarai lajunya kayak kura-kura. Kapasitas mesinnya sih 2.700 cc, tapi masih kalah ngebut sama mobil sejuta umat yang cc-nya cumak 1.300. Enggak apa-apa, yang penting nyampek. 

Nah yang jadi persoalan adalah apa yang saya alami sepanjang rute Samarinda-Bontang. Rute ini memiliki banyak bukit terjal, cocok kalau pas berkendara nyanyi naik-naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali sana sini banyak lubangnya. Eh tapi waktu kami lewat, lagi ada pengerjaan pengaspalan, deng. Jadi beberapa jebakan betmennya sudah ketutup. Semoga lain kali ketika main kesana lagi, jalannya sudah semulus kulit artis Korea.

Sebetulnya jarak Samarinda-Bontang lebih pendek dibanding Balikpapan-Samarinda. Menurut Google Map, Samarinda-Bontang hanya sekitar 116 Km dengan waktu tempuh 1 jam 45 menit. Dengan catatan tanpa macet. Mungkin Google Map lupa kalau jarak segitu bisa ditempuh tak hanya tanpa macet tapi juga kalau jalannya lurus. Menuju Kota Bontang memang tanpa macet. Tapi jalan-jalan terjal dan jebakan-jebakan betmen membuat mobil tua yang kami naiki berjalan seperti siput. Baru jalan beberapa ratus meter sudah nemu jebakan betmen. Jelas dong, waktu 1 jam 45 menit enggak mungkin banget ditempuh dengan kondisi jalanan seperti itu. Ah .. masak! Iyaaalaahh .. nyatanya kami berkendara hampir 4 jam lamanya hingga sampai hotel tujuan. Waktu itu, Samarinda ke Bontang, jalannya pas banyak perbaikan. 

Salah satu titik jalan yang membuat momok para pelintas adalah Bukit Menangis. Kemiringan jalan bukit ini (mungkin) hampir 20 derajat. Enggak cumak miring, tapi juga berkelok tajam. Kebayang kan mobil yang kami tumpangi meraung-raung untuk sampai ke atasnya. Kenapa disebut bukit menangis? Menurut Google searching, kendaraan yang lewat jalan bukit ini selalu meraung-raung seperti orang sedang menangis saat merangkak di tanjakan. Makanya disebut Bukit Menangis. Tapi yang bikin saya antusias adalah saya melihat Tugu Equator setelah melewati Bukit Menangis (kalau tidak salah). Mau mampir tapi kok capek. Jadi kami putuskan akan mampir pas pulang. 

Nah di sinilah masalahnya. Kami menemui masalah untuk menemukan letak atau posisi Tugu Equator saat berkendara pulang. Dari kami berempat, saya-suami dan dua orang kawan suami-istri, tidak ada yang melihat di mana letak tugu itu. Padahal saat lewat pertama kali, kami melihatnya dengan jelas papan nama yang dipasang persis di pinggir jalan. Apalagi Tugu Equator terlihat sangat jelas dari pinggir jalan. Bahkan kami tak jua menemukan papan nama petunjuk Tugu Equator. 

Enggak nyerah dooong. Maka sembari menuju Bukit Menangis (karena suami saya punya kepentingan untuk memotret kondisi jalan dan lalin di Bukit Menangis terkait tugasnya), kami pun semakin memelototi di manakah Tugu Equator. Manaaaaaaaa ... kok nggak nemu! "Jangan-jangan dah kelewatan," celetuk salah satu kawan saya. "Ah .. nggak mungkin, dari tadi aku melototi jalan. Kan mau motret bukit menangis juga .. ini bukit menangisnya kok nggak nongol-nongol," jawab suami saya. 

Lalu saya cek Google Map untuk mengetahui posisi berkendara kami. Hasilnya? Jarak tempuh kami menuju Kota Samarinda tinggal 35 Km lagi. Artinya Bukit Menangis dan Tugu Equator sudah tertinggal jauh di belakang. Lah terus Bukit Menangisnya ke manaaaa, kok nggak kerasa pas tanjakan.  "Harusnya kerasa loh .. ini kok enggak, lempeng ajaaa, nggak ada semacam tanjakan atau turunan paling terjal. Aku tuh pasti tahu kalau lewat Bukit menangis," kata suami saya.

Dan tiba-tiba kamipun melewati lokasi calon bandara Samarinda yang baru dibangun .. loooohhhh maksud loooo ?? Jadi total waktu tempuhnya dari Bontang sampai hotel di Samarinda cumak 1 jam 45 menit. Hebat kaaaannnn .. merinding disko dooong. Kami cumak diam. Sampai di pusat kota Samarinda kurang dari 3 jam berkendara.. ihiiirrrr. Padahal sempat juga mampir minimarket sekitar 10 menit.

So, dengan kondisi mobil yang tua dan jalanan yang seperti itu, kok nggak mungkin jarak tempuhnya cuman kurang dari 3 jam. Secara berangkatnya saja pas 4 jam perjalanan. Menurut informasi di Google, waktu tempuh dari atau ke Bontang rata-rata hampir 3 jam jika santai. Juga menurut suami saya, waktu tempuh yang kami alami agak janggal. Mengapa? Karena perjalanan santai menuju Bontang dari Samarinda tanpa macetpun setidaknya ya 3-jam an. Dan kami merasa tidak melewati Bukit Menangis dan tidak melihat Tugu Equator. Wah kasatmata dong.

Lalu teori konspirasipun berkecamuk di alam atas sadar saya. Mulai dari diculik alien barengan trus ingatannya dihapus, memasuki lubang hitam, ketemu segitiga bermuda, sampai pada teori dimensi waktu yang mampu membawa kami mempercepat waktu. Ah kebanyakan nonton ancient alien. Atau jangan jangan kami adalah saksi mata peristiwa ekstraterestrial trus didatangi agen K nya Men In Black. Mungkin juga kami menemukan jalan pintas kasatmata yang mempercepat waktu tempuh. Emaaaakkkkk .... atut.

Ya sudahlah .. daripada kepikiran, kami mengganggapnya sebagai mimpi. "Ada jalan lain nggak sih selain ini," kata kawan saya. Ehehehehehe ... cumak ini jalannya. "Tapi kok aku merasa nggak lewat sini ya kemarin, kayaknya jalannya kok beda," timpal suami kawan saya ini. Eheheheheh .... sudah nggak usah dibahas. Suami saya cumak geleng-geleng kepala. Bingung? Samaaakkkk...

Setelah kejadian "misterius" tadi, kami berempat membahas lagi apa sih yang sebenarnya terjadi. Tetap juga enggak ketemu penjelasan. Tapi beberapa cerita dari kawan-kawan memang menyiratkan kalau bisa saja pengendara mengalami kejadian aneh.

Setelah dipikir ulang, ada beberapa hal yang memang tidak seperti biasanya. Pertama, saya, suami dan kawan saya sepakat, kondisi jalan saat kejadian itu, sepi. Nyaris enggak ketemu kendaraan lain. Terlampau sepi untuk situasi di akhir pekan pada ruas jalan penghubung dua kota tadi.

Trus, kami berempat kok juga merasa ruas jalan datar-datar saja, nyaris tanpa naik-turun bukit. Juga banyak lempengnya, alias minim belok-belok. Juga enggak ketemu banyak jebakan betmen. Padahal kan enggak mungkin itu. Kok kami enggak nyadar yaaaks.. Hii.. Tapiii ya sudahlaah... Bingung juga kalau mikirin terus apa dan gimana-gimananya. Pokoknya pulang selamet..





Atha Ajo

BACA JUGA:
MENANTI KIRK HAMMET
<a href="http://indonesia-blogger.com">INDONESIA BLOGGER</a> 


                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar